Sabtu, 09 Januari 2010

Mozaik 5 : Emilia Vs Henry

Emilia vs Henry

Emilia agustina.
Besoknya aku pergi kesekolah lebih pagi. Aku tidak mau kejadian kemarin akan terulang kembali. Syukurlah, sepertinya hari ini tidak ada yang berubah. Tetap seperti hari-hari biasa aku berada di EHS.
Tadi malam aku sudah membayangkan bagaimana Anggota HEHO memperlakukanku. Seperti: mengeroyokku , memukuli , atau melempari aku dengan terlur busuk, terus setelah
itu menyiram aku bertong-tong air dari lantai atas, seperti perlakuan korban-korban mereka terdahulu. Mengerikan!. Tapi sampai jam istirahat pertama ini belum ada tanda-tanda marabahaya itu.
“ Emilia?,” panggil seseorang dari arah belakang.
Aku berbalik memenuhi panggilan dan puluhan bungkus terigu berterbangan kearahku. Satu dua bungkus mengenai wajah dan tubuhku, dan seketika itu juga aku berubah wujud menjadi manusia tepung: putih semua.
“ Woi! Apa-apaan ini!,”
Mereka tidak merespon teriakanku. “ Sial!,” aku membersihkan terigu yang memenuhi wajahku. Ternyata marabahaya itu datang juga, sambutan awalnya adalah tepung terigu.
“ Itu Emilia…Emilia! Kejar! Kejar dia!”
Teriakan-teriakan anggota Heho menggema dari arah samping dan kiriku. “ Apa!” aku terpekik melihat segerombolan orang membawa berbagai alat, sapu, bola basket, penggaris, ember dan tong sampah berlari dari arah kiri dan kananku. Tanpa berpikir panjang aku memutuskan lari menuruni tangga yang ada dihadapanku.
Lari…lari terus berlari, sambil menghindari lemparan alat-alat yang di bawa anggota HEHO.Sapu, Ember, tong sampah, penggaris dan bola basket berjatuhan dan sesekali menyentuh tubuhku. Aku berlari kekanan dan kiri, seperti pesilat yang gesit menghindari senjata pemungkas dari lawannya. Meskipun tidak ada yang tepat mengenai tubuhku, tapi bebergai sampah berhasil bertengger di kepala dan tubuhku. Akhirnya setelah melalui perjuang panjang, melewati berbagai rintangan aku sampai juga dilantai dasar dan kulihat kesekeliling semua anggota Heho sudah tidak ada satupun yang menggejarku lagi.
Nafasku memburu, aku berhenti berlari. Aku terlihat berantakan sekali, berkeringat, tepung terigu dan sampah menyatu di badanku.
Ini keterlaluan! Dasar anggota HEHO sinting!
Aku mendongak kelantai atas, tepat saat aku menatap: BRRRRUURRRRRrrrrrr!!!. Air berwarna coklat mengguyur tubuhku, seragamku seketika itu juga berubah warna. Lengkap sudah, tubuhku seperti adonan kue coklat : tepung terigu, air coklat, hanya saja belum ditambah telur terus di kocok. Dan baru aku sadar kalau air coklat itu adalah air comberan. Hiiii…..!
“ WOiiii…..! Dasar Bangsat!. Apa yang kalian lakukan?” teriakku sambil melompat-lompat.
Semua Hening. Ratusan siswa-siswi yang berada dibawah dan diatasku hanya menatapku diam. Semuanya sepertinya setuju aku diperlakukan seperti ini. Di lantai 4 aku melihat Henry tersenyum melihatku : inilah balasan orang yang berani melawanku. Rasakan cewek miskin, mungkin itu maksudnya sekarang.
Seharusnya aku tidak membayangkan sesuatu terlebih dahulu sebelum itu terjadi, karena sepertinya apa yang kubayangkan semalam menjadi kenyataan sekarang.

***

Tak kenal ampun. Begitulah slogan yang digunakan perkumpulan HEHO untuk membuat aku mengakui semua dosaku terhadap Henry. setiap hari sepeti tidak kehabisan cara perkumpulan HEHO membuat aku sengsara berada di EHS. Tapi demi sebuah Titah aku harus menerima dan tetap bertahan. Titah itulah yang membuat aku rela diperlukan seperti seorang pesakitan yang berdosa karena telah membatah sang Maha Raja. Raja itu adalah Henry yang memerintah secara otoriter dengan segala kebijakannya yang menyiksa dan medera rakyat jelata. Ia laksana raja lalim yang tak punya hati nurani. Baginya orang penentang seperti aku adalah sebuah kerikil yang menusuk-nusuk dagingnya, dan setiap saat mampu mengoyak tubuhnya. Dan aku bersumpah demi Titah itu akan akan berjuang semampuku, untuk melawannya meskipun harus kulalui dengan keringat dan darah.
Awal perlawananku dimulai, tepat pada jam istirahat aku menemui Henry yang sering berada di danau di belakang sekolah. Sang maharaja sedang menikmati kesendiriannya, berdiam diri di perasingan. Ini kah kegiatan membosankan sang penguasa, duduk sendiri tanpa bicara selama tiga puluh menit, tanpa di dampingi seorang mahapatih ataupun pengawal. Apa dia tidak takut para pemberontak akan menembaknya dari kejauhan, seperti seorang politisi Pakistan(* yang mati saat kampanye. Dan sekarang sang pemberontak itu “ aku” sedang mendekatimu sang Maha Raja.
“ Henry!,” teriakku.
Teriakanku mengagetkannya. Ia melihat kearahku : berani sekali cewek miskin ini menggangguku. Seorang paduka yang punya kekuasaan segala-galanya. Mungkin itu yang ia pikirkan saat melihat aku berdiri tegap dihadapnnya.
“ Aku tidak akan menyerah!,” kataku seperti sebuah janji. “ Meski perkumpulan gilamu itu menghajarku tiada henti! Aku tetap tidak akan menyerah !.”
“ Oh ya!. berarti sekarang aku mendapat lawan yang tangguh!,” kata Henry arogan.
“ Aku hanya kasian ?.”
“ Kasian kenapa?”
“ karena dugaanku benar, kamu ternyata bukan manusia! Tidak punya perasaan!.” Aku mengucapkan dengan nada penekanan di bagian akhir kalimat. Dan aku merasa puas mengatakan kalimat itu, sebagai luapan kemarahanku.
Henry melangkah mendekatiku, dan aku sudah bersiap sedia : silahkan pukul aku, tapi aku akan membalasmu, kataku membatin. Henry berhenti di hadapanku.
“ kamu sadar apa yang barusan kamu ucapkan?,” tergambar jelas kemarahan disorot matanya yang tajam.
“ Sangat sadar! Sangat…!,” kataku pasti.
Sebuah tangan dilayangkan kearahku, tapi dengan gesit aku tangkap, dan di luar dugaan Henry tangan kananku mendarat di wajahnya. Tubuh Henry terdorong kebelakang. Inilah yang kuinginkan, satu pukulan yang membuat perasaanku lega.
Belum sempat aku merayakan kemenangan, Henry dengan sigap mencengkram rambutku dengan kasar “ Aku akan selalu mengingat pukulanmu ini! Dan aku bersumpah kamu akan menyesal karena telah melakukannya,” Henry melepaskan cengkramannnya dan berlalu meninggalkanku.
Aku terdiam menenangkan nafasku yang memburu: menyesal.

***

Kalau ada orang yang paling kubenci(* selain Henry di EHS, orang itu adalah Sisi maharani. Sejak awal petemuan di sekolah ini, Sisi menjadi makhluk yang menyebalkan sedunia. Sisi adalah anak seorang penjabat BUMN yang kaya raya. Karena merasa paling kaya diantara anak-anak kelasku, Ia menjadi orang yang arogan. Apa yang dia bawa selalu terbaru, dari Blackberry edisi terbaru, MP4 yang tercanggih hingga note book ferari termahal. Barang-barang mewahnya selalu menjadi pusat perhatian anak-anak kelasku. Menyebalkan.
Sebenarnya aku tidak peduli, tapi semenjak aku menjadi musuh HEHO dia menjadi semakin menyebalkan. Setiap hari dia seakan berusaha membuat hidupku terganggu dengan gossip-gossip murahannya. Dia bahkan secara terang-terangan pernah mengejekku, kalau aku hanya merusak pemandangannya di kelas, dengan menyebutku dengan sebutan: makhluk Miskin. Ingin rasanya aku membuat perhitungan dengannya. Menjambak rambutnya yang panjang terurai, menyeretnya keluar kelas, setelah itu membuangnya kedalam tong sampah . Tapi niat itu kuurungkan, terlalu banyak aku bermasalah dengan penghuni EHS, apalagi Sisi Maharani adalah wakil ketua HEHO dengan sebutan si sepuluh persen ( 10%), disebabkan orang tuanya memiliki saham sepuluh persen di EHS.
Tapi sepertinya Tuhan maha tahu. Sehingga terjadilah pembalasan dendam yang secara tidak sengaja dan tidak pernah terencana. Saat itu bertepatan dengan pelajaran Sejarah yang di ajar oleh pak Azhari. Guru Muda yang berusia 25 tahun, baru lulus dari universitas negeri Jakarta, ganteng dan bijaksana. Seandainya ada award untuk guru idola, aku yakin sekali Pak Azhari akan terpilih dengan suara terbanyak. Mengingat wajah tampan yang dimilikinya bisa membius para siswi–siswi untuk rela mengikuti pelajarannya, dan akan mengatakan rugi besar kalau sampai pelajaran bersama Pak azhari terlewatkan. Begitu juga dengaku, aku biasanya senang berlama-lama menatap guru Muda itu, gaya bicaranya, cara dia menatap anak didiknya hingga gaya ia berdiri sungguh mempesona.
“ Selamat siang semua!,” kata Pak Azhari memulai pelajaran,” kita akan melanjutkan pelajaran minggu lalu, masih sekitar manusia purba yang hidup di Indonesia. Kalian buka buku kalian, tepat di halaman 15 bla..bla..bla..bla…”
Semua penghuni kelas kelihatan sibuk membuka tas dan mengambil buku sejarah, hanya Sisi Maharani yang kulihat masih bengong sambil tersenyum menikmati pemandangan Indah yang sedang berdiri di depan kelas : Pak Azhari ganteng banget!. Aku sudah menduganya, anak sok ini akan selalu ada untuk pelajaran Pak Azhari, bukan untuk belajar tapi hanya untuk memandangi Pak Azhari . Biasanya Sisi lebih memilih bolos dengan pelajaran-pelajaran yang Ia tidak sukai : Abes gurunya gak asyik sih, begitu komentarnya saat ditanya kenapa Ia bolos.
Kuraih tas yang kuletakkan dilantai, tanpa melihat kedalam tas, aku mengambil buku sejarah yang paling besar diantara buku lain, tapi tunggu…Apa ini?. Bergerak, kecil, licin, agak basah. Aku penasaran, kulirik kedalam tas dan “ aaaaawwwwwwww..tikus!.” aku berteriak histeris. seekor tikus merah memenuhi tanganku, dengan reflek tikus dan tas kulempar kesamping dan tepat jatuh mengenai Sisi. puluhan tikus berhamburan dari dalam tas dan bergelantungan dirambut Sisi. Ia melompat keatas meja sambil jejeritan Histeris. Seluruh kelas jadi panik, terutama bagi mereka yang berjenis kelamin cewek. Mereka naik keatas meja dan jejeritan geli.
“ Aaaaaaawwwww…Tikus!.”
Tikus-tikus kecil itu semakin banyak keluar dari dalam tasku, mungkin hampir puluhan ekor. Mereka berlarian memenuhi lantai kelas, sambil diringi jejeritan siswi-siwi. Aku jadi merasa bersalah dengan kejadian ini, mungkin ini salah satu kerjaan HEHO, kelanjutan dari penyiksaan mereka selama ini.
Sisi masih sibuk menjauhkan tikus-tikur yang masih bergelantungan di rambut indahnya, mereka berayun-ayun seakan tidak rela menjauh dari Sisi. Inilah pembalasan yang tidak pernah kurencanakan itu. Meski aku tidak menjambak rambut Sisi, apalagi sampai menyeretnya, setidak tikus-tikus manis itu sudah membuat rambut Sisi jadi berantakan. Kali ini ia persis seperti orang kesetrum listrik jutaan volt dengan rambutnya yang awut awutan. Tampangnya sangat lucu sekali.
Tapi Pak Azhari dimana?. Aku hampir tidak percaya apa yang kulihat sekarang. Rasanya semua yang kubanggakan dari pak Azhari jadi lenyap dengan kenyataan yang kulihat . Bagaimana tidak, tubuh sekekar pak Azhari harus takut dengan binatang penggerat yang bernama tikus. Aku hanya meringis saat melihat pak Azhari sesekali melompat-lompat diatas bangku dan jejeritan geli menghindari tikus-tikus yang berlarian dilantai; aduh pak Azhari?.Illfill deh…!


Next Story : Cinta Tidak Mengenal siapa?.
Last Story : Sebuah Titah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar