Sabtu, 09 Januari 2010

Mozaik 4 :Sebuah Titah.

Mozaik 4

Sebuah Titah.

Emilia agustina. Awal july 2009
“ Sayang, kamu harus bersekolah di EHS?,”
“ Kenapa harus EHS?”
Ayah tidak menjawab, ia berbalik menjauhiku.
“ Ayah..ayah!..Ayah!.....” aku berteriak sekuat tenaga.
Aku tersentak dari tidurku. Nafasku masih memburu.
Mimpi itu lagi?. Ini yang ketiga kalinya dalam bulan ini. Mimpi yang sama. Ayahku menemuiku dalam mimpi, padahal ia sudah meninggalkan kami setahun yang lalu.
Kulirik jam dinding yang menunjukan pukul 1.30 malam. Masih terlalu pagi, pikirku. Kurapatkan kembali selimut hingga memenuhi tubuhku, dan aku kembali tertidur.
“ Mil, ini titipan surat dan tabungan dari ayahmu.” Mama memberikan amplop coklat kepadaku. Aku membuka amplop coklat yang berisi selembar surat, dan sebuah buku tabungan. Surat kubaca perlahan…

Emilia sayang.

Ayah berikan tabungan ini buat biaya sekolah kamu. Ayah sudah mempersiapkan sejak dulu untuk biaya sekolah kamu di EHS. Ingat pesan ayah: kamu harus tetap bersekolah di Elit high school, apapun yang terjadi. Dan ayah yakin kamu sanggup memenuhi permintaan terakhir ayah ini.

salam sayang

Ayah.

Aku membuka buku tabungan. Mataku terbelalak setelah melihat jumlah saldo terakhir. Lima puluh juta…!..
Aku tersentak. Aku terbangun kembali dengan nafas memburu.


***

Emilia agustina.
Aku berjalan tergesa di trotoar, setelah memutuskan turun dari metromini yang terjebak macet. Setelah libur panjang kenaikan kelas, inilah hari yang tidak pernah kuinginkan dalam hidupku. Kembali kesekolah, dan bergaul kembali dengan penghuni sekolah yang aneh.
Aku adalah orang biasa yang memaksakan diri, itu pendapatku saat aku ditanya alasan kenapa aku bisa bersekolah di Elit High School.
Memaksakan diri, Hah… kesannya aku naïf sekali. Tapi apa boleh buat inilah yang terjadi di kehidupan Emilia Agustina, seorang dari ekonomi rendah. Orang tua tidak punya perusahaan, juga bukan seorang penjabat pemerintahan, dan bukan juga seorang anak selebritis yang laris. Aku seorang anak penjahit yang bukan sekelas desainer, tapi tepatnya anak seorang anak penjahit amatir yang sering dapat order dari seragam ibu-ibu pengajian. Ayahku sudah setahun meninggal saat tahun pertama aku bersekolah di EHS, ia pergi dengan tragis. Motor yang ia bawa di tabrak truk barang saat pulang kerja. Menyedihkan saat aku mengenang kepergiannya.
Aku masih ingat saat melihat wajah ayah yang berlumuran darah di kamar mayat rumah sakit cipto. Aku dan ibu menangis tiada henti, hingga kami berdua sadar kami kehabisan air mata. Saat itu hanya mengiklaskan dan berserah kepada Tuhan yang bisa kami lakukan.
Ayah adalah idolaku. Dia yang mengajari aku arti kesederhanaan dan menghargai orang lain. Ia mengajari aku bagaiamna bersifat kesatria, selain juga mengajariku bela diri. Mungkin karena factor didikan ayahku, aku tumbuh menjadi anak yang tomboy, atau juga karena aku terlalu banyak hormone laki-lakinya. Entahlah, yang jelas aku tidak menyesal menjadi Emilia sekarang.
Meskipun wajahku tidak terlalu cantik, tapi banyak orang yang senang berlama-lama melihatku. Seperti kata banyak orang: Emilia memang tidak cantik!. Tapi enak aja di liatnya. Pujian-pujian itu sering aku dengar saat orang pertama kali bertemu denganku. aku mempunyai mata yang indah, persis seperti mata ibuku, kata orang-orang mataku mempunyai tatapan yang tajam, dan bisa membuat orang takluk dan tunduk, sehingga tidak akan berani beradu mata lagi denganku. Hmmmm…sebuah karunia tuhan yang patut aku syukuri. Karena dengan mata itu aku jadi lebih percaya diri berhadapan dengan orang.
“ Mil, faminime dikit napa?,” kata Septi Yuningsih Maulana, teman sekelasku yang anak juragan angkot dan kalau bicara sangat betawe sekali,” gaya lu tuh kaya cowok!,”
Aku juga sering mendapat komentar seperti itu. Mamaku, dan orang-orang disekitarku. Tapi aku tidak memperdulikannya, karena aku merasa nyaman menjadi seperti ini. Koleksi pakaianku tidak ada yang mengindetitaskan cewek sejati: Rok ( selain seragam EHS), gaun atau pernak-pernik centil kesukaan cewek kebanyakan. Hampir semua isi lemariku di penuhi kaos oblong dan jeans. Semua sepatuku kets dan sporty, jangan Tanya masalah high heels karena barang aneh itu tidak akan kalian temukan di rak sepatuku.
Intinya aku adalah Emilia Agustina si cewek sederhana yang tidak suka dandan, atau lebih tepatnya tidak pernah dandan. Dan aku adalah orang yang terlupakan di EHS, tidak diperdulikan dan bahkan di kucilkan.
Aku mempercepat langkahku diantara jalan yang penuh sesak kendaraan bermotor. Kulihat beberapa teman sekolahku melambaikan tangan dari dalam mobil mewahnya. Aku hanya membalas dengan senyuman pahit. Aku tahu maksud mereka menyapaku, mereka hanya ingin memperlihatkan mobil mewahnya kepadaku. Hal ini sudah sering terjadi dan sangat menyebalkan.
Ini lo mobil baru gue. Kemarin baru ganti. Eh tau gak gue kan gak pernah naik mobil di bawah harga 300 juta. Eh Mil, lu gak punya mobil ya, gue lihat sering jalan kaki. Jakarta panas lho…
Kata mereka hidup miskin adalah sebuah penderitaan hidup. Sungguh berlebih-lebihan sekali. Aku sih berharap, orang tua mereka bangkrut, terus miskin dan tidak punya apa-apa lagi, biar mereka tau rasa bagaima rasanya selalu jadi orang terhina.
Aku sudah memasuki gapura sekolah yang bertuliskan : Elit High School, di depanku berdiri bangunan megah berlantai enam. Bangunan itu seperti istana-istana di negri dongeng dengan pilar-pilar besar bergaya yunani menghiasi depan bangunan. Patung Bapak pendidikan Indonesia(* berdiri gagah didepan pintu masuk pertama. Mungkin sekilas EHS seperti bangunan meseum, tapi itulah nilai seni EHS. Bangunan ini sudah berdiri sejak tahun 70an, menjadi salah satu sekolah swasta terbaik yang dimiliki negri ini. Awalnya hanya bangunan ini yang berdiri, baru setelah awal dua ribuan di belakang bangunan utama berdiri bangunan baru lantai 6 yang bergaya modern. Semakin tahun EHS berkembang menjadi sekolah yang bonafit, dengan mempunyai berbagai fasilitas yang sungguh tidak mungkin dimiliki oleh sekolah SMU lain di negri ini. Gedung basket, kolam renang yang sering digunakan untuk pertandingan berkelas internasional, lapangan futsal, lapangan bulu tangkis, perpustakaan yang lengkap, laboratorium, danau dan taman buatan yang terletak dibelakang sekolah. Danau dan taman buatan Elit High scgool sangat indah, meskipun tidak terlalu besar tapi cukup menganggumkan untuk fasilitas yang dimiliki sekolah tingkat atas. Disinilah tempat siswa-siswi EHS menghabiskan waktu untuk sekedar ngobrol dan belajar. Dan pantaslah Elit High School menjadi sekolah impian semua anak SMU di negri ini.
“We give good education, for good future”
Begitulah slogan yang diagungkan Elit High school. Aku sering tersenyum pahit ketika membaca kalimat itu. Kalimat yang maknanya sangat dalam, menjanjikan dan memotivasi. Tapi apa anak-anak orang kaya itu masih punya pemikiran masa depan yang baik, setelah semua masa depan mereka sudah direncanakan oleh orang tua mereka yang kaya raya sejak masih dalam kandungan, bahkan mungkin masih berbentuk sperma dan ovum.
Dari semua kemewahan Elit Hihg School, didalamnya bernaung bibit busuk dari anak-anak kapitalis yang didik secara kapitalis, anak-anak koruptor yang didik untuk melanjutkan jejak orangtuanya. Disini kekayaan menjadi tolak ukur sebuah keberhasilan dan mejadi perbandingan kasta social di lingkungan. Disini Masih berlaku hukum rimba: dimana yang miskin menjadi orang lemah, dimana kekayaan menjadi pemilik kekuasaan. Elit High School sebagai bukti nyata, kalau keadilan itu hanya sebuah impian.
Harusnya aku tidak bersekolah di EHS. Itu yang seharusnya. tapi apa boleh buat, ketika orang yang berjasa di kehidupan kita memberikan titah dan sebuah titah adalah keharusan. Titah itulah yang membuat aku mampu bertahan di dunia yang tidak seharusnya kumasuki. Titah ayahku, yang sampai sekarang tidak mempunyai alasan kuat, memaksaku harus berdiri tegar bersama anak-anak kapitalis dan calon-calon koruptor. Mulai membiasakan diri menerima hinaan, mulai berdamai dengan ejekan, dan mulai membisukan hati nurani dengan ketidak adilan. Semua akan kulewati selama tiga tahun, selama tiga tahun ini seorang Emilia sejati harus aku kubur, ku mati suri kan, atau akan kumatikan selamanya.
Aku berlari sekuat tenaga menuju gerbang sekolah. seorang satpam kulihat sudah mulai menutup gerbang. Tapi sial sesampainya didepan gerbang sudah ditutup rapat. Aku menghela nafas, kulihat sebuah kamera CCTV diatas pagar seperti menghakimiku: kau terlambat.
Ruang pak Ridho.
Aku berada diruang pak Ridho. Disinilah tempat siswa-siswi melanggar kedisiplinan berada. Diruangan ini juga pengadilan sekolah, dan segala sangsi di jatuhkan, tepatnya bagi siswa yang berlabel : anak miskin, karena tidak mampu membayar denda yang menghabiskan gaji setengah bulan pegawai yang hanya menerima UMR.
Aku bersama 3 orang siswa berbaris menemui Bapak kedisplinan ini. Dan semuanya adalah siswa yang terlambat hari ini, yang ketahuan lewat kamera CCTV. Teknologi sialan yang membuat kami dihukum seperti maling. Ali seorang anak jenius yang dari keluarga biasa sangat beruntung mendapat beasiswa, dan Ratna seorang siswi anak juragan warteg yang impiannya terwujud dapat bersekolah di EHS, tapi ia harus berhemat demi kelanjutan pendidikannya di EHS. Dan aku orang yang memaksakan diri bersekolah di EHS. inilah buah dari kesalahan kami. Kami harus membersihkan ruang kelas, demi menebus kesalahan. Sebuah pekerjaan memalukan, tapi tetap harus kami lakukan. Disekolah lain seharusnya hukuman kami membersihkan toilet yang bau, tapi karena semua toilet di EHS adalah toilet yang bersih dan wangi, alhasil kami tidak mendapatkan hukuman yang dianggap sangat ringan itu. Membersihkan ruangan kelas saat jam belajar adalah hukuman yang dianggap setimpal bagi siswa yang terlambat. Bukan karena pekerjaannya tapi karena malu adalah sebuah hukuman shock therapy yang tepat agar kami ingat kalau disiplin itu sangat mahal. Dari hukuman ini baru aku sadar kenapa Negara Singapore selalu memberlakukan denda,dan ternyata cukup berhasil karena banyak menguntungan. Selain menambah pendapatan Negara, denda juga dianggap sangat membantu bagi si pelanggar untuk lepas dari hukuman, tapi tentunya itu hanya berlaku bagi mereka yang punya uang. Bukan untuk kami bertiga. Dan dengan penuh penyesalan kami harus menerima hukuman tersebut dengan lapang dada.
“ Ingat jangan sekali-kali memberi alasan” pesan Yuni yang pernah kuingat, kalau berhadapan dengan Pak Ridho. Di ruangan Pak Ridho tidak ada istilah pengadilan yang lazimnya: ada jaksa pembela, penuntut dan hakim. Semua siswa yang masuk keruangannya adalah orang yang bersalah, pembelaan diri adalah perbuatan sia-sia. Dia adalah raja yang otoriter, karena baginya kesalahan tetap kesalahan, dan alasan hanya sebuah karangan narasi yang dibuat terdakwa untuk berkilah dari kesalahan. Sungguh kejam. Demokratis disini tidak dijalankan, padahal ini masih di Indonesia yang masih mempunyai pancasila.
Akhir dari pengadilan sepihak itu, aku harus membersihkan kelas dua belas IPA Delapan. Ali kelas sebelas IPA dua , sedangkan Ratna harus membersihkan kelas sebelas IPS empat. Kami dibekali dengan baju cleaning service dan alat-alat kebersihan sebelum meninggalkan ruangan kedisiplinan.
“ Selesai kan hukuman kalian! Setelah itu kembali kekelas masing-masing”, pesan terakhir Pak Ridho yang dapat ku cerna setelah hampir 5 menit ia memberikan ceramah tanpa henti.
“ Iya, Pak!,” sahut kami serentak seperti paduan suara yang kurang berlatih.

***

Hari pertama yang buruk.
Aku membawa alat-alat kebersihan dengan kesal. Melewati siswa-siswi yang lalu-lalang. Nasib sialku lengkap setelah kami keluar dari ruang kedisplinan, kami di foto satu-satu oleh wartawan elit magazine, dan aku yakin sekali wajah-wajah kami akan menghiasi majalah sekolah itu dengan pose alat ngepel dan ember. Mungkin dengan judul artikel: Siswa miskin dapat hukuman, atau siswa mendapat hukuman, karena males dan miskin. Entahlah apa yang akan dilakukan wartawan-wartan bodoh itu dengan foto-foto kami. Dan aku bersumpah isi majalah itu tidak ada yang bagus. Isinya hanya seputar tips bagaimana caranya jadi orang popular, tips bagaimana merawat kulit, bagaimana cara memadukan seragam agar jangan bosen ( tips murahan), tips bagaimana caranya PDKT dengan cowok tajir ( tips menjijikan), tips bagaimana caranya menghamburkan orang karena tabungan lo yang kebanyakan ( aduh sumpe de ), dan berbagai tips aneh dan membingungkan. Selain tips-tips aneh itu separuh isi halaman berisi gosip murahan orang-orang popular, dan biasanya setiap Edisi berhadiah poster Henry yang sangat besar.
Henry!. Hah, aku baru ingat dengan orang popular itu. kabarnya tahun ini ia akan menemapati kelas dua belas IPA delapan. Si kelas ekslusif!. Begitu siswa-siswi Elit High School menyebutnya. Kelas Ekslusif adalah kelas yang dihuni oleh orang-orang yang menduduki peringkat atas di daftar orang-orang popular yang diadakan setiap tahun oleh badan survey sekolah. Dan aku yakin seperti tahun lalu aku akan berada diurutan paling akhir. Aku masih ingat aku berada diurutan 1345 sesuai dengan jumlah keseluruhan siswa-siswi EHS. Mungkin kali ini hanya berubah naik atau turunnya jumlah siswa-siswi EHS, tapi posisi tetap tidak berubah. Dan dari sanalah julukan Emilia Si urutan paling bawah kudapat.
Akhirnya aku sampai juga didepan kelas EKSLUSIF. Kelas yang sangat terlarang bagi orang-orang seperti aku. Kini aku akan memasukinya, bukan sebagai penghuni kelas, tapi sebagai cleaning service yang akan membersihkan kelas. Kelas kosong, aku baru sadar kalau hari ini hari pertama ajaran baru dimulai. Dan biasanya siswa-siswa lebih tertarik menuju mading, melihat apakah urutan mereka naik atau turun di daftar orang-orang popular. Syukurlah, dan ini sangat memudahkanku dalam menuntaskan kewajibanku.
Aku melihat kesekeliling. Kelas lebih luas dari kelas-kelas yang lain di EHS, apalagi dibandingkan dengan kelasku. kelas ini sangat berantakan. Kursi dan meja tidak tersusun dengan rapi. Banyak kertas dan tisu berserakan dilantai. Sangat jorok sekali.
Aku menghela nafas meletakkan ember yang berisi air di depan pintu. Sepertiya aku harus memulai dengan memunguti satu persatu tisu yang berada di bawah meja, setelah itu baru aku akan mengepel bersih lantai kelas ini. Mungkin lima belas menit, atau bahkan sepuluh menit aku sudah selesai melaksanakan tugasku. Ternyata hukuman ini tidak seberat yang aku pikirkan.
Aku memulai memunguti satu persatu tisu di kolong-kolong meja.
BRUUUKKK.
Ember yang kuletakkan didepan pintu ditendang seseorang dan melayang, seluruh isi air tumpah mengenai tubuhku. Serta merta tubuhku jadi basah kuyub. Aku langsung berteriak karena kaget. Ember menggelinding pelan dan berhenti disampingku. Dengan kesal kuraih ember dan dengan cepat kulempar kesosok cowok yang berdiri didepan pintu, sambil memaki : bangsat!. Rasakan ini!.
Samar-samar sebelum penglihatanku kembali normal karena kelilipan air, aku melihat cowok didepan pintu memegangi jidatnya yang memar.
Dug! Aku tersentak, setelah menyadari cowok didepan pintu itu adalah Henry dan ia masih memegangi jidatnya.
“ Siapa yang bangsat?,” tanya Henry tegas.
Perlahan dadaku mulai berpacu kencang. Nafasku menjadi tidak teratur. Aroma ketakutan menjalar kesekeluruh tubuh. Henry berjalan mendekatiku. Jantungku makin berpacu.
Kenapa aku harus takut?. Aku tidak salah?. Dia yang menendang ember duluan dan mengenai tubuhku. Aku hanya membalasnya dan itu wajarkan!.
Henry berhenti dihadapanku.
“ A…A.. Apa yang kamu.. mau?,” tanyaku gugup.
Henry menatapku tajam. Matanya beradu denganku. Tatapan mata yang tajam, dan baru kali ini ada orang yang beradu pandang selama ini denganku. Biasanya orang akan menunduk dan takluk dengan tatapanku. Tapi kenapa Henry mampu bertahan?. Ditatapannya dapat kulihat kemarahan yang membara, seperti binatang buas yang akan melumat mangsanya. Sepertinya aku berada dalam bahaya.
“ Siapa yang bangsat?,” Tanya Henry mengulangi pertanyaannya lagi.
Sebenarnya aku ingin mengatakan : maaf aku tidak sengaja atau Henry maaf aku anggota Heho lo jadi kita teman kan?. Atau kutembahkan lagi seperti cewek-cewek aneh yang mengagguminya: kamu ganteng lo Hen! Aku sangat beruntung sekali bertemu kau disini, apalagi aku sudah melempar ember kemu kamu. Maaf ya, bercanda!. Tapi diluar dugaan,seperti ada kekuatan dari alam gaib sehingga yang terucap dibibirku hanya sebuah kalimat singkat yang pelan tapi cukup jelas terdengar : kamu!.
Dia maju selangkah, detik berikutnya sebelah tangannya berada dimukaku dan serta merta mendorongku dengan kasar. Tubuhku terdorong kebelakang dan menabrak meja dan kursi sebelum tubuhku hilang keseimbangan dan jatuh kelantai.
Sakit! Sakit sekali!.
“ Kamu akan mendapat masalah besar karena berurusan denganku! Cam kan itu?.” Henry berbalik berniat meninggalkanku.
Aku bangkit dengan meringis. “ Tunggu!,” panggilku kepada Henry. Henry berhenti dan berbalik melihat kearahku.” Apa salahku?. Bukannya kamu yang menendang ember itu duluan. Coba katakan dimana salahku?.” Lanjutku membela diri.
Henry hanya diam tidak menyahut.
Aku seperti dapat kekuatan dari langit. Aku bisa berdiri tegar dan sekarang membela diriku atas perlakuan Henry. “ kamu memang orang yang berkuasa disini. Tapi setidaknya kamu punya perasaan untuk menghargai orang lain.” Aku merasa itu kalimat yang paling hebat yang pernah aku ucapkan dalam hidupku.
Henry tersenyum, “ semoga setelah ini kamu masih bisa berbicara seperti ini lagi!,” terus berbalik meningglkanku.
Aku terdiam. Apa yang kulakukan.
Kata-kata Yuni seperti terekam ulang diingatku saat ia bercerita tentang Henry: kalo lu sampe bermasalah dengan si popular itu sama saja cari mati.


***

Next Story : Emilia Vs Henry
Last Story : 50% Vs 30 %

Tidak ada komentar:

Posting Komentar